Perempuan, Laut dan Feodalisme
OlehMoh Salapudin
Sastrawan Muda Tegal
"SEGANAS-GANAS LAUT, DIA LEBIH PEMURAH DARI HATI PRIYAYI.”
Laut dengan segala keganasannya: ombak tinggi, badai, ikan buas, masih memberikan penghidupan pada nelayan. Dan laut tak juga menjadi dangkal meski akal dan budi manusia semakin dangkal. Sementara priyayi, dengan kedudukannya yang tinggi -dan barangkali karena kedudukannya yang tinggi-, dengan tanpa suatu beban apa bisa merendahkan kawula yang sudah di bawahnya dengan melakukan apa saja, tanpa ada yang kuasa menolaknya.
Inilah yang dengan nyata dialami oleh Gadis Pantai. Gadis berumur 14 tahun -dengan kulit langsat, tubuh kecil, mata agak sipit, hidung ala kadarnya- yang menjadi bunga kampug nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara-Rembang (Jawa Tengah). Lahir di lingkugan nelayan yang tentu saja tidak kaya, membuatnya bukan saja berkawan dengan debur ombak, batu karang, dan biduk para nelayan, tetapi juga dengan keterbatasan dan kemiskinan. Itulah barangkali yang membuat orangtuanya harus merasa bahagia ketika seorang tuan (berikutnya dipanggil bendoro) dari kota tertarik meminangya.
Maka diberangkatkanlah Gadis Pantai ke kota menuju kediaman Bendoro, kediaman yang menurut rombongan kampung nelayan lebih seperti istana. Rombongan kampung nelayan itu harus menunggu berjam-jam sebelum bertemu dengan tuan rumah. Seorang perempuan dengan sopan menyuguhkan minuman dan mempersilakannya, namun tak juga ada yang meminum. Suasana hening dan tak ada yang berani berbicara keras karena yang boleh berbicara keras hanya Bendoro. Setelah rombongan diterima dan kemudian pulang dengan barang bawaan yang tentu saja sangat banyak untuk ukuran orang kampung nelayan, Gadis Pantai sudah resmi menjadi bagian dari rumah itu dan ia memiliki nama panggilan baru: Mas Nganten. Hidupnya kini berbalik sama sekali dengan masa lalunya. Tidak perlu bekerja, dan bila menginginkan sesuatu tinggal memanggil perempuan yang dipanggil Mbok.
Derajatnya menanjak dengan tajam. Dua tahun setelah dipinang Bendoro, ketika pulang kampung nelayan sekadar untuk melampiaskan rindunya pada orangtua, debur ombak, dan bau amis kampungnya yang abadi, Gadis Pantai disambut dengan sambutan layaknya seorang pembesar. Orang-orang di kampungnya kini tak ada yang berani memandangnya. Mereka semua takzim kepada Gadis Pantai. Bahkan orangtua Gadis Panti juga seperti mereka, takzim. Semua mua memanggilnya Bendoro Putri…
Minggu pertama memang berat, Gadis Pantai kerap menangis merindukan orangtua dan kampungnya. Beruntung ada Si Mbok, perempuan yang selalu setia menghiburnya, yang juga mendidik bagaimana menjadi istri seorang bendoro. Hari-hari Bendoro adalah hari-hari yang penuh kesibukan sehingga hanya beberapa hari -bahkan jam- saja bersama dengan Gadis Pantai. Berkat keramahan Si Mbok, Gadis Pantai lama kelamaan bisa melupakan bayang-bayang orangtua dan kampungnya, dan mulai bisa menikmati rumah yang sebesar istana itu. Tiga bulan pertama ia menjadi betah dan mulai merindukan suaminya, Bendoro, bila tak pulang dalam waktu sebentar.
Bendoro adalah seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Karena memiliki jabatan tinggi, ia dipanggil Bendoro. Meki belum menikah, ia sudah memiliki beberapa anak yang bila laki-laki kesemuanya dipanggil Agus (Gus). Anak-anak itu lahir dari perempuan-perempuan desa yang dipinangnya, seperti halnya Gadis Pantai, yang sebenarnya merupakan perempuan pelayan “kebutuhan” seksualnya, sebelum bendoro itu memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya. Untuk beberapa saat, Gadis Pantai tak menyadari ini. Gadis Pantai merasa menjadi istri Bendoro, dan Bendoro memang berlaku baik padanya. Ia bahagia.
Memasuki tahun ketiga, Gadis Pantai hamil. Sayang, (mohon maaf untuk menyebut kata ini) anaknya perempuan. Bendoro tak suka dan menceraikan Gadis Pantai. Gadis Pantai pun pulang kampung bersama ayahnya, tanpa anaknya. Namun, menjelang sampai kampung, ia memutuskan untuk pergi ke kota (sesekali mengintip keberadaan anaknya dari dokar karena setelah diceraikan Bendoro ia dilarang ke kota, apalagi melihat anaknya) lalu ke selatan, ke Blora…
Roman ini berhenti di sini. Tak ada yang tahu kisah berikutnya karena roman yang sejatinya trilogi ini, dua buku lanjutannya raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir, dan kekerdilan tradisi aksara disebabkan oleh vandalisme Angkatan Darat. Meski begitu, buku Gadis Pantai ini mengkritik dengan sangat tajam, tradisi feodalisme Jawa di era kolonial Belanda yang jauh dari kedalaman budi dan keluasan pikir. Pesan yang mengingatkan bahwa nenek moyang kita adalah pelaut juga menjadi nilai plus roman ini. Seperti juga dalam karya-karyanya yang lain, Pramoedya Ananta Toer selalu “menyadarkan."
Comments
Post a Comment