Kemacetan dan Keadilan Sosial
Oleh: Fatihul Afham
Kemacetan
Banyak yang berasumsi kemacetan Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya banyaknya pengguna kendaraan pribadi, jalan yang sempit sedang kendaraan tiap tahun bertambah, para angkot yang ngetime disembarang tempat, pembangunan infrastruktur, dan faktor-faktor lainnya. Berbagai kebijakan lalu lintas telah diambil, mulai dari tri in one, kendaraan ganjil genap, jalan satu arah, jalur khusus, sampai pelarangan kendaraan tertentu melintas di salah satu jalan protokol ibukota. Namun, kemacetan juga tak urung tertanggulangi. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya bersifat temporer, kurang efektif, dan menemui kegagalan-kegagalan dalam beberapa minggu kemudian, setelah kemacetan menjangkiti semua sudut jalanan ibukota lagi. Disamping itu, kota-kota satelit disekitarnya juga terkena imbasnya. Pernah suatu ketika saya pergi ke Jakarta tepatnya sekitaran Monas dari Ciputat. Dalam perjalanan normal tanpa kemacetan dan santai mungkin hanya butuh waktu sekitar 30 menitan. Tetapi, nasib bagi saya yang harus memakan waktu sekitar 2 jam lebih untuk jarak dan jalan yang sama. Bagi pengendara motor seperti saya, tentu sangat menyiksa perjalanan terik, panas, berdebu, berasap dalam kemacetan yang akut seperti ini. Tak ayal, srobot kanan kiri, ambil jalan pintas, melawan arah, bahkan mengambil hak pejalan kaki, trotoar pun dilewati. Pemandangan seperti ini hal yang biasa dan lumrah bagi masyarakat ibukota, dan seolah mereka pun memaklumi.
Akhirnya, tak jarang pula dari mereka yang melanggar lalu lintas dihentikan dan diciduk sama Pak polisi yang sedang bertugas. Double penderitaan. Sudah macet, kepanasan, haus, lapar, masih harus berurusan dengan aparat yang identik dengan rompi hijau ini. Untung penderitaannya tidak ditambah perut mules dan kebelet kencing. Pelanggaran tata tertib lalulintas tersebut menurut saya wajar. Siapa yang tahan bermacet-macetan, panas-panasan, sampai kehausan dan kelaparan di tengah jalan. Alternatif jalan pintas, srobot kanan kiri, lewat trotoar, lawan arus akan di ambil siapapun. Siapa yang rela umurnya yang sebentar ini akan habis dijalan tanpa suatu arti apapun? Begitu terus setiap hari. Setiap hari terus saja begitu. Macet lagi, macet lagi, lagi-lagi macet.
Kembali ke soal kebijakan, saya ambil contoh kebijakan tri in one. Kebijakan ini bertujuan mengurangi kepadatan kendaraan pada jam-jam tertentu di jalan protokol ibukota. Pada jam masuk kantor 07.00-10.00, dan pulang kantor 16.00-19.00 WIB. Namun sayang, tak ada perubahan berarti, tetap saja jalan protokol padat kendaraan. Malah kebijakan ini mendapati keberkahan tersendiri bagi para joki tri in one yang menyediakan jasa kepada para pengendara. Kebijakan lain berupa kendaraan plat nomor ganjil genap. Seperti kata pepatah setali tiga uang, bukan tak mungkin para pengendara ini hanya punya mobil satu atau dua. Yang satu berplat ganjil, satunya genap. Jangan ditanya, mereka itu orang-orang kaya tujuh turunan. Satu contoh lagi kebijakan yang paling diskriminatif. Pelarangan motor melintas di jalan-jalan tertentu. Seolah-olah, ini menunjukkan kota Jakarta hanya untuk orang-orang kaya, bermobil. Orang miskin, yang hanya bermotor, gembel, para kaki lima di larang melintas di kawasan tersebut. Walaupun jalur tersebut memang sedikit relatif lancar pada akhirnya, tidak untuk jalur yang lain, kendaraan menumpuk di jalur-jalur tertentu. Menambah kemacetan semakin parah. Akhirnya dapat kita simpulkan, kebijakan-kebijakan tersebut hanyalah mitos dan fiktif belaka, karena terbukti mandul, buntu, gagal dalam menjalankan maksud dan tujuannya. Muncullah pertanyaan, apakah bisa kemacetan di Jakarta bisa diselesaikan? Bisa saja, asal setiap hari diterapkan sistem car free day every day.
Keadilan Sosial
Seperti yang sudah saya singgung dan uraikan di atas, bukan tanpa sebab kemacetan di Jakarta akibat dari mobilisasi sosial yang saling terkait. Kita ketahui Jakarta sebagai Kotaraja Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pusat pemerintahan, pusat kekuasaan, pusat politik, pusat pusat pendidikan, pusat kesehatan, pusat ekonomi dan pusat-pusat lainnya tumplek blek di Jakarta. Karena menyandang pusat segalanya tentu saja pusat uang juga berada di sini. Konon, 80% lebih perputaran uang di Indonesia ada di Jakarta. Seperti peribahasa, "Ada gula ada semut." Ibarat gula adalah uang maka semut adalah manusianya.
Sejak ideologi pembangunanisme di cetuskan oleh rezim orba, ketimpangan sosial mulai terlihat nyata. Mulailah terjadi urbanisasi dari kaum urban. Jakarta menjadi daya tarik magnet yang kuat bagi siapapun yang ingin berebut gunung gula-gula. Hingga pasca reformasi dan semakin berkembang teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, ketimpangan sosial masih jadi isu yang seksi sampai sekarang dan semakin tampak nyata. Jakarta tetaplah kota yang menjanjikan kekayaan, fasilitas pendidikan dan kesehatan terbaik. Bayangkan saja 80% peredaran uang ada di kota ini.
Perlu diketahui, selama ini pemerintah pusat hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi secara makro. Klaim secara sepihak yang menyebutkan ekonomi negara telah tumbuh di atas 5% di tahun 2017. Ini menunjukkan, walaupun pertumbuhan ekonomi sangat signifikan, tetapi pada kenyataannya belum menyentuh sampai akar rumput terbawah dari sub bagian terkecil sebuah masyarakat ataupun warga negara secara kebanyakan yaitu keluarga. Masih banyak keluarga petani miskin, buruh pabrik melarat, pengangguran mengemis, mengais sampah, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan batas minimal hidup layak untuk keluarganya. Yang artinya janji negara dalam pembukaan UUD 1945 ataupun Pancasila sila kelima untuk menciptakan keadilan sosial belumlah terlaksana. Dan komitmen dari pemerintah untuk mewujudkannya pun tidak ada. Itu berarti, UUD 1945 dan Pancasila hanyalah mantra-mantra sakral yang selalu diucapkan berulang-ulang ketika upacara bendera, yang selalu dijejalkan, dihafalkan, didoktrinkan kepada warga negaranya melalui sekolah-sekolah tanpa memahami arti dan makna sebenarnya, yang hanya tersimpan mewah dalam etalase dokumen kenegaraan, sedang implementasinya nol besar.
Ada istilah di daerah, "jika ingin sukses, maka merantaulah ke Jakarta." Sukses yang dimaksud tiada lain pencapaian materi, uang, rumah, mobil, dan harta benda lainnya. Maka tiap tahun kaum urban desa ke Jakarta selalu bertambah terus menerus semakin banyak. Itu artinya semakin banyak orang yang datang jumlah kendaraan pun semakin banyak. Semakin banyak kendaraan jalanan semakin macet. Inilah mengapa kemacetan di Jakarta sebagai ibukota negara tidak bisa dibebankan dan di selesaikan hanya oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta melalui kebijakan-kebijakan yang saya sebutkan sebelumnya. Karena semua ini saling berhubungan dan berkesinambungan satu sama lain dalam skala nasional.
Urbanisasi masyarakat daerah ke kota Jakarta secara besar-besaran tiap tahun terjadi karena kesenjangan sosial antara Jakarta dan daerah-daerah lain. Maka sudah seharusnya pemerintah pusat melakukan pemerataan ekonomi, pendidikan dan kesehatan di seluruh pelosok daerah. Kenapa harus pemerataan ekonomi, pendidikan dan kesehatan? Karena ketiganya merupakan faktor keberhasilan dari peningkatan indeks pembangunan manusia (human development index). Bukankah Islam juga mengajarkan agar harta itu jangan hanya berputar-putar di antara orang kaya saja di antara kita? (Baca: Al hasyr: 7). Ayat ini bisa kita kontekstualisasikan dengan perputaran uang yang sangat besar di Jakarta, agar bisa dialirkan oleh pemerintah pusat ke daerah melalui program-program di sektor ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan secara merata. Dengan begitu, kaum urban di daerah tidak perlu susah payah berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk berebut gunung gula-gula. Karena di daerah maupun di Jakarta sudah sama-sama sejahteranya. Akhirnya, persebaran dan pertumbuhan penduduk terjadi secara alami, bukan karena urbanisasi. Begitu juga dengan persebaran dan pertumbuhan kendaraan di seluruh daerah, tidak hanya menumpuk di Jakarta yang semakin sempit ini, yang menyebabkan kemacetan di mana-mana.
Jadi, selama keadilan sosial (social justice) belum bisa diwujudkan di seluruh pelosok daerah, penindasan manusia atas manusia lain (exploitation de l'homme par l'homme) akan selalu terjadi berulang-ulang. Dan salah satu dampak sosialnya secara tidak langsung adalah kemacetan, dalam hal ini kemacetan di ibukota Jakarta. Mudah diucapkan, namun sulit untuk diwujudkan bukan?
Comments
Post a Comment