Menangkal Intoleransi, Merawat Kebinekaan: Agenda Moderasi di Perguruan Tinggi
Oleh: Fatihul Afham
ASN Kementerian Agama
Pendahuluan
Ketika kita berbicara tentang Indonesia hari ini, sulit rasanya
mengabaikan isu intoleransi yang kian menajam di berbagai ruang sosial.
Sentimen kecurigaan, ketidakpercayaan, bahkan kebencian antarsesama anak bangsa
masih terus berulang dalam siklus yang nyaris tak berkesudahan. Sepuluh tahun
terakhir, polarisasi politik identitas dan mobilisasi agama telah ikut
menyuburkan praktik eksklusi yang mengatasnamakan kebenaran tunggal.
Yang mengejutkan, praktik intoleransi itu tidak hanya lahir dari
masyarakat awam yang minim literasi agama, tetapi justru ikut tumbuh di
kalangan mahasiswa. Mahasiswa—yang kita harapkan menjadi motor perubahan sosial
dan agen pembawa toleransi—ternyata tidak kebal dari ideologi eksklusif.
Survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2021 mengungkapkan fakta mengejutkan:
sekitar 30 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang
rendah hingga sangat rendah. Jika dibandingkan dengan total mahasiswa yang
mencapai lebih dari tujuh juta orang, artinya jutaan anak muda di perguruan
tinggi berpotensi menjadi agen intoleransi. Sebuah ironi, karena perguruan
tinggi seharusnya menjadi benteng terakhir pembentukan nalar kritis, terbuka,
dan inklusif.
Fenomena ini mengisyaratkan bahwa kampus bukan sekadar arena
belajar-mengajar, melainkan juga medan pertempuran ideologi. Perguruan tinggi
hari ini tidak hanya dihadapkan pada tantangan akademik, tetapi juga tantangan
kebangsaan: bagaimana mencetak lulusan yang bukan hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga matang secara sosial dan berakar pada semangat
kebinekaan.
Krisis Kesadaran Kebinekaan
Pudarnya sikap toleransi mahasiswa sesungguhnya terkait erat dengan
melemahnya kesadaran kebinekaan. Banyak mahasiswa yang gagal membaca Indonesia
sebagai rumah bersama, sebuah bangsa yang lahir dari pergumulan multietnis,
multisuku, multibahasa, dan multiagama. Padahal sejak awal, Bung Karno sudah
menegaskan bahwa Pancasila adalah “philosophische grondslag” bagi bangsa yang
majemuk ini. Indonesia, kata Bung Karno, adalah “semua untuk semua”.
Sayangnya, Pancasila kini sering kali hanya hadir sebagai slogan
normatif, bukan spirit yang hidup. Pendidikan Pancasila yang ada di perguruan
tinggi kerap berjalan formalistik—sekadar mata kuliah wajib tanpa ruh reflektif
yang mampu menyentuh kesadaran mahasiswa tentang arti kebinekaan. Akibatnya,
nilai Pancasila gagal ditransformasi menjadi etos kebangsaan yang mengakar.
Rumah Moderasi: Dari Ide ke Gerakan Nyata
Untuk merespons situasi ini, Kementerian Agama sejak 2019 telah
menggagas Rumah Moderasi Beragama (RMB) di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Negeri (PTKIN). Gagasannya sederhana: kampus harus menyediakan ruang
institusional bagi tumbuhnya dialog lintas iman, penguatan toleransi, dan penyemaian
budaya moderat. Namun, pertanyaannya, sejauh mana RMB benar-benar berfungsi
sebagai laboratorium perdamaian?
Kenyataannya, masih banyak RMB yang berjalan sebatas proyek
administratif: ada ruang, ada papan nama, ada program sesekali, tetapi tidak menjelma
menjadi gerakan kultural di kampus. Di titik inilah urgensi muncul, RMB tidak
boleh berhenti di PTKIN semata. Ia perlu diperluas ke perguruan tinggi umum,
negeri maupun swasta. Jika semua kampus memiliki “pusat gravitasi” moderasi,
maka akan lahir ekosistem mahasiswa yang lebih siap menjadi agen perdamaian.
Moderasi Islam: Dari Diskursus ke Kurikulum
Lebih jauh lagi, moderasi beragama perlu diinstitusikan secara
akademis. Di PTKIN, mata kuliah Moderasi Islam sudah semestinya menjadi
kurikulum wajib. Mengapa? Karena moderasi tidak cukup sekadar menjadi jargon
kebijakan; ia harus diinternalisasi dalam nalar akademis mahasiswa.
Moderasi Islam mengajarkan tiga pilar utama: toleransi,
antikekerasan, dan komitmen kebangsaan. Ketiga pilar ini, jika dipadukan dengan
nilai-nilai Pancasila, akan menghasilkan mahasiswa dengan identitas kebangsaan
yang kuat sekaligus kesadaran religius yang inklusif. Dengan kata lain,
Pancasila membentuk horizon kebinekaan, sementara Moderasi Islam membentuk
horizon keberagamaan. Jika keduanya dikolaborasikan dalam ruang kelas, maka
mahasiswa tidak hanya mempelajari konsep, tetapi juga mempraktikkan paradigma
hidup berdampingan secara damai.
Menatap ke Depan
Di era digital saat ini, arus informasi bergerak begitu cepat,
termasuk penyebaran ideologi intoleran melalui media sosial. Generasi mahasiswa
berada di garis depan dalam menghadapi gempuran wacana keagamaan transnasional
yang kerap eksklusif dan ekstrem. Tanpa pembekalan moderasi, mereka mudah
terjebak pada narasi biner, “kita versus mereka”, “Islam murni versus Islam
kompromis”.
Karena itu, perguruan tinggi harus tampil lebih progresif. Pertama, mengintegrasikan literasi digital dan literasi agama dalam program moderasi. Kedua, mendorong praktik lintas iman melalui kegiatan sosial bersama, bukan hanya diskusi intelektual. Ketiga, menjadikan evaluasi sikap toleransi sebagai bagian dari indikator keberhasilan kampus, bukan hanya IPK atau prestasi akademik.
Moderasi beragama adalah soal keberlangsungan bangsa. Jika kampus
gagal menanamkannya, kita berisiko mewariskan generasi cerdas tapi intoleran.
Namun jika berhasil, kampus akan menjadi rahim lahirnya pemimpin masa depan
yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berjiwa besar dalam mengelola perbedaan.
Penutup
Intoleransi di perguruan tinggi adalah alarm yang tidak bisa
diabaikan. Ia menandai adanya krisis kesadaran kebinekaan sekaligus kelemahan
dalam pendidikan karakter mahasiswa. Jalan keluar bukan dengan retorika,
melainkan dengan kerja nyata: memperkuat pendidikan Pancasila, mengoptimalkan
Rumah Moderasi, dan menjadikan Moderasi Islam sebagai kurikulum wajib.
Kita tidak boleh lupa, Indonesia berdiri bukan di atas keseragaman,
melainkan di atas perbedaan yang dirawat. Moderasi beragama adalah kunci untuk
memastikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tetap hidup, bukan sekadar slogan. Dan
kampus, sekali lagi, adalah titik mula segalanya.
Comments
Post a Comment