Piagam Madinah: Puncak Toleransi dan Preseden Politik Perdamaian

Oleh: Fatihul Afham

ASN Kementerian Agama


Pendahuluan

Bulan Rabi’ul Awal selalu menghadirkan ruang perenungan bagi umat Islam. Di bulan inilah manusia paling agung, Muhammad SAW, dilahirkan. Peringatan Maulid Nabi bukan sekadar seremonial, melainkan momentum untuk meneguhkan komitmen meneladani risalah kenabian beliau dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Dari sekian banyak teladan yang diwariskan Nabi, salah satu yang patut direnungkan adalah gagasan toleransi yang beliau institusikan secara nyata dalam Piagam Madinah.

Dalam istilah modern, Piagam Madinah dapat disebut sebagai konstitusi pertama di dunia—sebuah dustur yang memuat garis besar pengaturan kehidupan bersama. Ia mengatur relasi antarumat beragama, antar-suku, sekaligus hubungan internal-eksternal sebuah komunitas politik. Deklarasi ini lahir pada 622 M, tak lama setelah Nabi hijrah ke Madinah. Setelah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, Nabi menyusun piagam yang mengikat tidak hanya umat Islam, tetapi juga Yahudi, Nasrani, bahkan kelompok lain seperti Majusi. Semua penduduk diberi jaminan perlindungan, kebebasan menjalankan agama, serta kepastian hukum yang berlaku setara.

Kesetaraan sebagai Fondasi Umat

Di antara butir penting piagam tersebut, sebagaimana dikutip al-Buthy dalam The Great Episodes of Muhammad, ditegaskan bahwa kaum Muslim Quraisy, Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka adalah satu umat. Said Aqil Siradj menyebut penggunaan istilah umat dalam Piagam Madinah bersifat universal. Artinya, status sosial tidak lagi ditentukan oleh nasab atau pertalian darah, melainkan oleh komitmen bersama dalam konsensus politik. Inilah lompatan peradaban: dari tribalistik menuju komunitas politik inklusif.

Nabi menegaskan, orang Yahudi Bani Auf juga merupakan bagian dari umat. “Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslim agama mereka.” Prinsip ini meneguhkan kebebasan beragama, dengan batasan tegas: siapa pun yang melakukan kezaliman atau dosa akan menanggung konsekuensi sendiri. Dalam tafsir politik Islam, sebagaimana ditulis Muhammad Hamidullah dalam The First Written Constitution in the World (1968), Piagam Madinah menjadi bukti nyata Islam mengakui pluralitas keagamaan sekaligus menjamin hak hidup damai komunitas non-Muslim.

Kebebasan Beragama dan Politik Perdamaian

Kebebasan beragama yang ditegaskan Nabi dalam piagam ini bukan sekadar kebijakan pragmatis, melainkan cerminan wahyu Al-Qur’an. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]:256, “Tidak ada paksaan dalam agama”, memperlihatkan bahwa iman sejati tidak mungkin lahir dari pemaksaan. QS. Hud [11]:118 menegaskan perbedaan adalah keniscayaan, sementara QS. Al-Kafirun [109]:6 menutup dengan kalimat sederhana namun revolusioner: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Selain kebebasan beragama, Piagam Madinah juga menekankan politik perdamaian. Setiap penduduk, baik Muslim maupun non-Muslim, dijamin keamanannya. Siapa pun yang tinggal di Madinah terlindungi haknya, kecuali mereka yang berbuat kezaliman. Dengan kata lain, keamanan bersifat inklusif—selama taat pada kesepakatan, setiap warga dilindungi.

Hal ini sejalan dengan penafsiran Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), bahwa Piagam Madinah adalah instrumen sosial-politik untuk mengelola pluralitas, bukan sekadar strategi Nabi menghadapi situasi darurat. Dengan piagam ini, Madinah menjelma sebagai model masyarakat sipil pertama, di mana hukum, hak, dan kewajiban tidak berbasis agama tunggal, melainkan kesepakatan multikomunitas.

Puncak Toleransi dalam Islam

Tidak berlebihan jika Husein Sya’ban, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi dalam Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW (2018), menyebut Piagam Madinah sebagai puncak toleransi Islam. Ia bukan sekadar teks perjanjian, melainkan dokumen politik yang mewujudkan toleransi dalam praksis negara-kota. Dari sini lahir tiga fondasi utama.

Pertama, adanya kesetaraan umat. Salah satu aspek paling utama dan penting dalam Piagam Madinah yaitu perubahan status sosial dari pertalian darah atau nasab, menjadi pertalian umat. Seluruh pihak yang terlibat dalam konsesus politik dan menyetujui lahirnya Piagam Madinah disebut sabagai satu umat. Artinya, dalam Piagam Madinah tersebut ditegaskan bahwa perbedaan latar belakang agama dan suku tidak membedakan mereka sebagai satu umat yang setara.

Kedua, adanya kebebasan beragama. Piagam Madinah secara eksplisit juga menegaskan perihal pentingnya kebebasan beragama. Sebagaimana diketahui bahwa di Madinah pada waktu itu dihuni oleh berbagai pemuluk agama, yaitu Islam, Yahudi, dan Nasrani. Kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh Nabi dalam Piagam Madinah, pada hakikatnya merupakan implementasi dari wahyu al-Quran yang dengan jelas menjunjung tinggi kebebasan beragama. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, “Tidak ada paksaan dalam agama”, QS. Hud ayat 119, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”, QS. Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Ketiga, adanya politik perdamaian. Selain yang telah disebutkan di atas, Piagam Madinah juga menggarisbawahi terkait pentingnya perdamaian. Karenanya, Piagam Madinah secara tegas memberikan jaminan keamanan bagi seluruh penduduk Madinah, apa pun latar belakang mereka. Jaminan keamanan ini tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga umat lain seperti Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Piagam ini telah melahirkan “politik perdamaian” yang patut dicontoh. Artinya, siapa pun yang mematuhi aturan dan tidak melakukan kejahatan wajib dijamin keamanannya tanpa terkecuali. Itulah yang semestinya menjadi pemandangan dari kota yang berperadaban.

Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah mencatat bahwa keberhasilan Nabi membangun tatanan Madinah merupakan momentum krusial lahirnya peradaban Islam. Sebuah masyarakat yang mampu mengelola keragaman tanpa terjebak pada konflik sektarian.

Relevansi bagi Indonesia dan Dunia Modern

Piagam Madinah adalah preseden penting yang relevan hingga kini. Ia membuktikan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan teologi, tetapi juga menawarkan model politik inklusif yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan minoritas.

Dalam konteks Indonesia, dengan realitas multietnis dan multiagama, Piagam Madinah bisa dijadikan rujukan normatif. Ia mampu mengisi keroposnya nilai toleransi yang belakangan ini terkikis oleh politik identitas. Lebih luas lagi, Piagam Madinah bisa dibaca sebagai model demokrasi global, yaitu masyarakat majemuk dapat disatukan bukan dengan keseragaman, melainkan dengan konsensus yang menjamin kebebasan, keadilan, dan perdamaian.

Penutup

Keberhasilan Nabi Muhammad SAW membangun Kota Madinah melalui Piagam Madinah adalah bukti konkret misi kenabian: menghadirkan masyarakat berperadaban yang damai dan toleran. Piagam ini layak disebut sebagai “role model” demokrasi dan politik multikultural, yang mampu menjawab tantangan modern sekalipun.

Madinah menjadi saksi bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekuatan. Piagam Madinah telah melahirkan jejak sejarah yang gemilang—sebuah teladan bahwa kebebasan beragama, kesetaraan sosial, dan politik perdamaian adalah kunci terwujudnya peradaban besar. Maka, menjadikan Piagam Madinah sebagai inspirasi dalam kehidupan berbangsa hari ini adalah langkah penting untuk merawat Bhinneka Tunggal Ika dan meneguhkan demokrasi yang damai, adil, dan toleran.

Comments

Popular posts from this blog

Arsitektur Masjid dan Spiritualitas

Gangguan Mental

Biografi Zakiah Daradjat