Maling juga Manusia

Oleh: Fatihul Afham

Maling itu prilaku sosial, yang pasti ada sebab musabab sosialnya pula. Orang maling sudah pasti penuh pertimbangan yang matang, itung-menghitung resiko, pertikaian batin yang dahsyat antara iya dan tidak. Bisa juga tanpa ada niatan tapi ada kesempatan, dikarenakan iman yang lemah dan godaan nafsu yang kuat. Tapi secara sosial ada motif yang melatarbelakanginya, motif dendam, iri, dan yang paling sering motif ekonomi (kebutuhan mendesak). Apakah salah seorang maling? Ya pasti salah secara ketentuan dan hukum. Tidak baik buat si maling, juga tidak baik buat orang yang di maling. Dia dikatakan maling ketika ia maling, ketika ia pulang ke rumah membawa rejeki untuk anak istrinya dia bukan maling lagi, ia seorang suami yang bertanggung jawab. Bukankah mencegah sebelum hal itu terjadi lebih baik? Kalau maling terjadi akibat sebab sosial, mengapa tidak kita ciptakan tatanan sosial yang mencegah adanya maling. Mungkin sudah. Kita punya aparat keamanan berlapis, mulai hansip, security, satpam, brimob, satpol PP, polisi bahkan TNI. Jumlahnya pun lebih dari cukup. Namun, efektifitas sebagai pencegahan belum berjalan secara sepenuhnya. Seringkali, aparat datang setelah peristiwa maling-kemalingan terjadi. Karena pencegahan ini tidak bersifat mengakar dari pokok permasalahan dasarnya. 

Sebagai masyarakat yang beretika, bermoral dan komunitas muslim terbesar di dunia, nyatanya tidak mencerminkan etika, moral dan masyarakat Islam yang sebenarnya. Islam di samping sebagai agama yang diyakini secara teologis oleh pemeluk-pemeluknya juga sebagai tatanan sosial yang global, mestinya bisa diterapkan dalam praktek kehidupan bersama sebagai masyarakat dan warga negara. Itu artinya, prinsip-prinsip, nilai-nilai Islam seperti sedekah, zakat, menjalin hubungan baik, menjaga mulut, dan lain sebagainya bisa dijalankan. Supaya, hal-hal semisal dendam, iri, kemiskinan dan lain-lain yang menyebabkan maling-kemalingan tidak terjadi. Sudahkah kita melakukan hal itu? Mungkin sedang diusahakan. Mau diakui atau tidak, masyarakat kita malah bangga dan merasa menjadi orang paling benar ketika bisa nggebukin maling, nendangin, nelanjangin, ngolok-ngolok, bahkan ngebunuh si maling. Begitupun aparat keamanan, penegak hukum banyak juga yang merasa bangga dan benar karena bisa menghukumi dan memenjarakannya. Sedang pemerintah yang mustinya menciptakan tatanan sosial yang lebih baik, terlalu sibuk dengan mainan mereka masing-masing yang ia perjuangkan tiap lima tahun sekali. Tidak usah buru-buru menghakimi maling, kalau perlu kita bantu apa yang ia butuhkan. Pekerjaankah, makanankah, uangkah? Saya yakin, mereka itu orang-orang yang terpinggirkan, termajinalkan dalam struktur sosial masyarakat kita. Tidak usah kita tindas lagi batin, mental dan fisiknya. Mencarikan solusi adalah jalan terbaik buat dirinya.

Tulisan ini berlatar belakang saat ada orang di tuduh maling dikeroyok di Ciputat.

Comments

Popular posts from this blog

Kemacetan dan Keadilan Sosial

Arsitektur Masjid dan Spiritualitas

Soesilo Toer Sang Teladan